Minggu, 26 April 2009

cerpen sawitri

Martini dan sawitri

BULAN masih tinggi menggantung di atas gelapnya malam, sedang lintang semebar mewarnai langit malam yang malam itu kelihatan sangat luas. Indah memang malam Jumat Kliwon tanggal kaping enem sasi rolas tiga tahun lalu, purnama 15 seakan menyanyiakan kidung keindahan malam.
Di balik keindahan malam, dua putri cantik Martini dan Sawitri, dibalutan kain jarit motif sekar jagat, kedua anak pak Martono dari istri pertamanya Maryani penjual beras asal Kendal, berjalan dengan langkah cepat di bawah remang cahaya lampu kampung Sugih Harapan, yang berada di pinggiran hutan di kaki gunung kendeng.
“Yuk, tumben malamm ini sepi sekali yah,” celetuk si kecil memecah keheningan langkah kaki yang terlempat menapaki jalan berkerikil.
“He eh, wong tadi di balai kelurahan saja cuman kita, kang Sutar, kang No dan Yu Narti yang bisa datang nabuh karawitan. Coba kang Budi, Yuni, Pak Li, lek Marjo, ugo kang Wawan tumben-tumbenan kok tidak datang pada kemana yo,” timpal Mbakyu mbarep, menjawab keluhan si kecil sambil mengangkat bahu pertanda keheranan, sembari mempercepat langkah.
‘’Napa kok dadi tambah cepat jalannya,’’ tanya dik Sawitri, sembari nyincing sedikit lebih tinggi jarit panjang yang dikenakan mengejar kakanya yang lebih dahulu melewati pintu gerbang kompleks pemakaman angker yang ada di kampung penghasil kapur di pinggiran kabupaten Grobogan.
Untung saja, dengan suasana yang sepi karena malam menunjukan pukul 21.30, dari balai kelurahan sampai rumah cuma memerlukan waktu selama 15 menit dengan jalan cepat. Jadi, ketakutan yang ternyata menyelimuti dada gadis kembar berambut panjang sebahu dapat segera terlewatkan.
“Kulonowo, sugeng ndalu,” Teriak lirih Martini, setelah tiba di depan pintu, rumah trompo yang biasa mereka tinggali.
“Monggo,’’ jawab Sukiyah, istri muda Partono sambil membuka pintu yang terbuat dari ukiran kayu bercorak jeparanan.
“Tumben pulangnya kok cepat ndok,’’ tanya sambil menerima lemparan jabat tangan tanda hormat kedua putirnya tirinya.
“Injih buk, tadi yang berangkat hanya lima orang jadi pilih wangsul lebih awal,” jawab Marni, pada ibu tirinya yang selalu berpenampilan anggun dengan daster panjang sampai kaki setiap berada di dalam rumah.
“Buk, tadi di luar gelap banget, malah rumah-rumah semua tutup dan tidak ada anak-anak nakal di angkruk yang ganggu kita,” timpal Sawitri, sambil menggangdeng sang ibu dengan tangan kanannya dengan manja.
Setelah sedikit berbasa-basi dengan sang ibu, kedua bunga desa yang dikenal karena kepandaiannya itu, langsung pergi ke kolah belakang rumah untuk membersihkan diri. Usai mencuci muka, kaki dan tangan, kemudian keduanya langsung pergi ke kekamar untuk menaruh pantat sambil memegang buku sebagai teman rebahan.
“Witri, yen aku kuliah katone orang mungkin wong ibuk ugo bapak wae cuma pedagang beras kecil-kecilan, jadi aku mau ke Semarang cari kerja mugo-mugo dapat kerja agar kamu bisa kuliah yo,” suara lirih Martini diantara wajahnya yang tersembunyi di balik buku cara-cara melamar kerja yang sukses.
“Aku ikut yo, aku ugo pengen tahu Semarang. Kata orang banyak, di kota atlas, banyak mall besar yang jual pakaian, wedak, dan perhiasan bagus-bagus,” jawab Sawirti tampa membuang muka dari buku sejarah pelajaran yang akan diujikan esok paginya.
Tanpa jawaban, Martini hanya melihat sang adik yang tampak manja dan mengantuk dengan guling warna hijau yang dipeluk di kedua kakinya.
“Kenapa kamu ingin ikut dan cari baju, bedak, dan perhiasan apakah uang untuk makan kita sudah sisa untuk membayar uang sekolah,” keluh Martini yang langsung dibawa di dalam mimpi.

Enam bulan telah berlalu, Martini cantik tetap cantik dengan baju Biru Hitam seragam pabrik tekstil di pingiran Terminal Penggaron. Kesombongan tidak tampak sedikitpun dari raut si jenius yang mempunyai nasib kurang beruntung itu. Namun, sebuah motor keluaran tahun 1992 kini sudah menjadi kaki setiap berangkat ke pabrik.
Bahkan, dengan senyuman khas cantik yang lebih dikenal dengan sebutan disbrik (gadis Pabrik), tetap supel dengan orang di kampungnya.
“Yu Martini, bisa ngak masukin anak saya di pabrik tempatmu kerja. Katanya gajine tinggi dan kerjanya tinggal milih-milih barang tok yo,’’ tanya Mbok Darmini, yang kebetulan bertemu di jalan saat perjalanan pulang ke kampung.
“Mosok sanjange sinten gaji di pabrik saya banyak,” ungkap Martini tanpa menjawab permintaan tetangga yang tinggal tiga rumah di samping

Tidak ada komentar: